New

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Gambar
  Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Wacana HAM di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia a. Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920) Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dile

Istilah dan Pengertian Konstitusi

Konstitusi


ISTILAH KONSTITUSI

Mengenai istilah “Konstitusi” pertama kali dikenal di Negara Perancis, yaitu berasal dari bahasa Perancis “Constituer”, yang berarti membentuk. Yang dimaksud dengan membentuk disini adalah membentuk suatu Negara. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud adalah pembentukan suatu Negara. Hal ini disebabkan, konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu Negara. Istilah tersebut muncul karena Perancis yang pertama kali membahas teori konstitusi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang dilatar belakangi gejala-gejala social. Hal tersebut tidak mengherankan karena Negara itu paling sering menghadapi persoalan konstitusi. Sampai masa republik ke-4 (1946) Perancis sudah mengenal 12 macam konstitusi. Dalam liberator, bahkan Perancis sering disebut sebagai Laboratory of constitution making.

Konstitusi Perancis dikatakan paling lengkap karena mengandung beberapa unsure, yaitu:

  1. Sendi-sendi dasar filsafat;artinya, perenungan yang mendalam terhadap sesuatu ilmu.
  2. Art/hasil dari seni; kata-katanya tidak menimbulkan banyak penafsiran.
  3. Konstitusi itu harus sistematis; didalam konstitusi itu harus sistematis , antara pasal yang satu dengan pasal yang lain tidak boleh saling bertentangan.
  4. Kalimatnya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.

Sehubungan dengan hal itu,M.Solly Lubis, S.H. mengemukakan “Istilah “konstitusi” berasal dari “consituer” (bahasa Perancis), yang berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu Negara, atau menyusun dan menyatakan suatu Negara”.

Dalam hal yang sama, Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. mengemukakan bahwa “konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja “constitution” (Perancis) yang berarti “membentuk” Kini yang dibentuk ialah suatu Negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu Negara”.

Berkaitan dengan hal itu pula, G.S. Diponolo Mengatakan “Kata Konstitusi dalam bahasa Inggris dan Perancis “constitution” berasal dari bahasa latin “constitutio” yang kurang lebih berarti “dasar susunan badan”. Seperti halnya dengan manusia mempunyai konstitusi yaitu susunan bagian-bagian organ-organ yang masing-masing mempunyai kedudukan dan fungsinya sendiri-sendiri tetapi bersama-sama merupakan suatu rangkaian kerja sama yang harmonis, begitupun halnya dengan Negara. Maka konstitusi menurut makna katanya berarti dasar susunan badan politik yang bernama Negara”.

Berkaitan dengan istilah “Konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “Constituonale” (bhs. Perancis). “Constitutio” (bahasa. Latin), “Constitutons” (bhs. Latin), “Constitutions” (bhs. Inggris), “Constitutieí” atau “Grongezet” (bhs. Belanda), “Verfassung” atau ”Verfassunglehre” (bhs. Jerman).

PENGERTIAN KONSTITUSI

Dalam sejarah, kita melihat bahwa identifikasi antara pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar itu, dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector) kerajaan inggris (1599-1658) yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai the Instrument of Government atau “ius trusment of government” yang berati bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan dari sinilah muncul identifikasi dan Konstitusi dan Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1787 pengertian Konstitusi menurut Cromwell tersebut kemudian diambil alih oleh Amerika Serikat yang selanjutnya oleh Lafayette diambil oleh Negara Perancis pada tahun 1789.

Pada umumnya, Negara-negara yang mendasarkan atas demokrasi konstitusional, maka undang-undang dasar (sering disebut juga konstitusi dalam arti sempit) mempunyai fungsi yang khusus yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang- wenang sehingga hak-hak warga Negara akan lebih terjamin. Pandangan ini dinamakan konstitualisme.

Menurut Carl J. Friendrich bahwa konstitualisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang dianggap efektif ialah dengan jalan membagi kekuasaan.

Baca juga : Konsep Keadilan Dalam Penegakan Hukum Pemilu

Munculnya gagasan ini lebih dahulu dari konstitusi dan kontitualisme mulai berkembang pada abad pertengahan di Inggris dimana kekuasaan raja yang mutlak di Negara tersebut dipaksa untuk mengetahui hak-hak dari kaum bangsawan, yaitu bahwa raja tidak dapat memungut pajak kepada kaum bangsawan tanpa persetujuan dari kaum bangsawan tersebut, jaminan tersebut dicantumkan dalam suatu piagam yang bernama Magna Carta.

Magna Carta ini merupakan awal dari gagasan konstitualisme terhadap pengakuan kebebasan dan kemerdekaan rakyat. Kemudian berkembang dengan adanya perlindungan terhadap penangkapan sewenang-wenang dan yang menjamin pengadilan yang cepat, hak ini tercantum dalam Hobeas Corpus act. Tahun 1679.

Pada tahap perkembangan yang berikutnya ternyata beberapa hak dari rakyat semakin mendapat perlindungan, yaitu dengan adanya jaminan dari Parlemen terhadap Hobeas Corpus yaitu dengan diterimanya “Bill of Rights”. Disamping itu ditetapkan pula beberapa hak bagi rakyat antara lain hak rakyat untuk mengajukan petisi kepada raja serta hak untuk kebebasan berbicara bagi setiap anggota parlemen dan hak kebal.

Perjuangan dari rakyat Inggris ini diikuti pula oleh Amerika Serikat yang pada tahun 1778 dengan diproklamasikan piagam “Bill of Rights”, apa yang dikemukakan dalam Bill of Rights tersebut merupakan pengaruh dari teori John Locke mengenai teori perjanjian masyarakat (Social Contract).

Sebelumnya, yaitu pada waktu Amerika Serikat dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaannya, dicetuskanlah “Declaration of Independence” pada tahun 1776 yang berisi pernyataan bahwa Tuhan telah memberikan hak kemerdekaan dan hak untuk hidup sejahtera, yang hak-hak tersebut tidak boleh dirampas. Dalam rangka melindungi hak-hak tersebut rakyat Amerika Serikat telah menciptakan pemerintah yang didalam melakukan tindak tanduknya harus sesuai dengan kehendak rakyatnya.

Seperti halnya di Inggris, di Negara Perancis pada tahun 1789 timbulnya revolusi sebagai reaksi untuk menggulingkan kekuasaan raja yang bersifat absolute, yang sebagai hasil dari revolusi itu kemudian dicetuskan pernyataan tentang hak-hak kemerdekaan rakyat yang terkenal dengan nama “ Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen”. Pernyataan ini membatasi kekuasan raja yang bersifat absolute.

Maka sejak abad ke-19 timbulah undang-undang dasar yang berasaskan demokrasi sebagai perwujudan gagasan konstitualisme, dimana dengan adanya undang-undang dasar maka akan menciptakan suatu keadaan dimana kekuasaan tidak akan disalahgunakan dan hak-hak warga Negara tidak akan diperkosa oleh penguasa.

Jadi pada dunia barat tersebut diatas konstitusi dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan. Karena dengan kebangkitan faham kebangsaan sebagai faham politik yang progresif dan militan konstitusi menjadi alat rakyat untuk konsolidas kedudukan politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-citanya dalam bentuk Negara.

Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Negara Inggris adalah Negara yang faham konstitualisme yang tertua walaupun Negara tersebut tidak mempunyai undang-undang dasar, tetapi mempunyai konstitusi yang secara lengkap memuat aturan-aturan keorganisasian Negara berdasarkan perkembangan selama lebih kurang delapan abad. Aturan-aturan konstitusional tersebut tersebar dalam berbagai undang- undang dan dokumen Negara lainnya, hukum adat (Common Law), serta Konvensi (Convention).

Walaupun Inggris tidak mempunyai undang-undang dasar, Negara ini model Negara konstitusional tertua yang tumbuh secara evolusi sejak diterbitkannya Magna Carta tahun 1215. Sebaliknya kalau dilihat dari Negara-negara komunis maka gagasan konstitusionalisme sebagaimana dikemukakan diatas tidak dianut sama sekali. Karena faham komunis berpandangan bahwa semua aparatur serta kegiatan pemerintahan harus ditujukan kepada tercapainya masyarakat komunis, oleh karena itu kaum komunis tidak mau paham konstitusionalisme.

Undang-undang dasar pada Negara komunis disatu pihak mempunyai fungsi mencerminkan kemenang-menangan yang telah dicapai dalam perjuangan kearah tercapainya masyarakat komunis serta merupakan pencatatan formal dan legal dari kemajuan yang telah dicapai. Pada pihak lain undang-undang dasar memberikan kerangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan dalam tahap perkembangan yang berikutnya.

Hal-hal yang dilengkapkan dalam undang-undang dasar dari Negara-negara yang menganut faham komunis dapat dibagi dalam dua tahap;

  1. Tahap pertama, mengungkapkan keberhasilan perebutan kekuasaan oleh golongan komunis dan diselenggarakan dictator ploretariat. Tahap ini pada Negara Uni Soviet tercemin dalam Undang-Undang Dasar 1918. Sedangkan di Negara-negara Eropa Timur hal ini terjadi setelah perang dunia II. Pada tahap ini undang-undang dasar menunjukkan sifat-sifat kekerasan dalam rangka menghancurkan masyarakat lama.
  2. Tahap kedua, mengungkapakan tercapainya kemenangan sosialisme dan dimulainya pembangunan masyarakat komunis pada Negara Uni Soviet. Tahap ini tercapai dalam tahun 1936 dan tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1936. Sedangkan pada Negara-negara komunis Eropa Timur tahap kedua ini tercapai pada tahun 60-an.

Dari apa yang dikemukakan di atas tergambar bahwa terdapat perbedaan antara Negara-negara barat dengan faham konstitualismenya Negara-negara yang menganut faham komunis yang menolak faham konstitualisme. Tetapi di samping perbedaan tersebut dapat kita tarik adanya persamaan yaitu baik Negara-negara barat dan Negara-negara yang menganut faham komunis itu mengakui perlu adanya undang- undang dasar yang sifatnya tertulis (Konstitusi dalam arti sempit).

Penganut paham modern yang menyamakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar adalah Lassale. Dalam tulisannya Uber Verfassungwessen, ia mengemukakan bahwa Konstitusi yang sesungguhnya merupakan penggambaran antara kekuasan yang terdapat di dalam masyarakat, seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata dalam strata masyarakat (Relle Machtsfaktoren); misalnya kepala Negara, angkatan perang dan sebagainya.

Dari pendapatnya ini kemudian Lassale menghendaki agar seluruh yang penting itu dimasukkan dalam konstitusi (in einer Urkunde auf Blatt Papier aller Institutionen und Regierungs prinzipien des Landes).

Demikian pula halnya dengan Struycken yang menganut paham modern karena menurut pendapatnya konstitusi (Karya Besar) adalah Undang-Undang Dasar, hanya saja berbeda dengan yang lainnya Struycken berpendapat bahwa konstitusi memuat garis-garis besar dan asas tentang organisasi Negara.

Menurut Prof. Mr. A.A.H. Struycken : “… Konstitusi adalah undang-undang yang memuat garis-garis besar dan asas-asas tentang organisasi daripada Negara”.

Sejalan dengan pendapat atas, Prof. Padmo Wahjono,S.H. mengemukakan : “… Konstitusi adalah suatu pola hidup berkelompok dalam organisasi Negara, yang sering kali diperluas dalam organisasi apa pun”. 

Menyangkut organisasi dalam Negara, Prof. Padmo Wahjono, S.H. : ”Organisasi dalam Negara secara garis besar terbagi dalam alat perlengkapan Negara (staatsorganen) dan organisasi kemasyarakatan dalam arti luas”. Dalam jenis organisasi di luar Negara atu organisasi yang lain seperti pada partai politik dan organisasi kemasyarakatan lazim disebut Anggaran Dasar.

Mengenai Negara dimana suatu konstitusi diberlakukan, Mr. Soenarko mengemukakan bahwa karena negra itu tidak lain dari suatu susunan masyarakat pada tingkat organisasi yang tertentu, maka sumber-sumber untuk mencari pengetahuan ilmu ini, tidak saja terletak dalam kitab-kitab undang-undang Negara yang tertulis, tetapi diluar undang-undang yang tertulis itu masih ada sumber-sumber lain yang perlu digali untuk memperoleh pengetahuan tentang “ke-Tata Negaraan”.

Pengertian yang luas dari konstitusi oleh sarjana Inggris Bolingbroke dalam bukunya On Parties dirumuskan “By Constitution, we mean, whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage of laws, institution and customs, derived from certain fixed principles of reason … that compose the general system, according to which the community hath agreed to be governed”.

Dari rumusan Bolingbroke diatas, maka yang dimaksud dengan konstitusi adalah sekumpulan kaidah-kaidah hukum, institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan, diambil dari asa penalaran tertentu dan pasti berisi sistem umum atas dasar nama masyarakat itu sepakat/setuju untuk duperintah.

Berbeda dengan sarjana diatas, seorang sarjana Inggris lainnya yang bernama Lord James Bryce yang menganut paham modern yang secara tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar, dalam bukunya Studies in History and Jurisprudence mendefinisikan suatu konstitusi sebagai berikut “a constitution as a frame of political society, organized through and by law, that is to say, one which in law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights”.

Dari definisi Lord James Bryce, maka yang dimaksud dengan konstitusi sebagai suatu kerangka Negara, diorganisasikan melalui dengan hukum , yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap dengan diakui fungsi-fungsi dan hak- haknya.

Definisi konstitusi menurut Lord James Bryce ini, bahwa konstitusi yang dimaksud Lord James Bryce adalah dalam arti sempit.

Sarjana lainnya, C.F. Strong, OBE, Ma,Ph.D. yang menganut paham modern yang secara tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-undang dasar. Ia mengatakan “… a constitution may be said to be a collection of principles according to which the power of the government, the rights of governed, and the relations between the two are adjusted”.

Dari rumusan C.F. Strong, OBE, MA,Ph.D. diatas, maka konstitusi merupakan suatu kumpulan asas-asas menurut kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah,dan hubungan antara keduanya (pemerintah dan yang diperintah dalam konteks hak-hak asasi manusia).

Rumusan C.F. Strong, OBE, MA, Ph.D. ini pada asasnya sama dengan definisi Bolingbroke. Akan tetapi bila ditelaah lebih lanjut, tampak pengertian konstitusi dari C.F. Strong, OBE, MA, Ph.D. lebih luas dari pengertian konstitusi dari Lord James Bryce mengingat pengertian konstitusi menurut Lord James Bryce hanya menyangkut pengaturan pengaturan mengenai lembaga-lembaga atau alat-alat kelengkapan Negara yang disertai dengan pengaturan fungsi-fungsi dan hak-haknya. Dalam pengertian konstitusi dari C.F. Strong, OBE, MA,Ph.D., pengaturan mengenai lembaga-lembaga atau alat-alat kelengkapan Negara dari Lor James Bryce itu termasuk dalam kekuasaan pemerintah, sedangkan menurut pendapat C.F. Strong, OBE, MA,Ph.D. konstitusi tidak hanya mengatur mengenai lembaga-lembaga atau alat-alat kelengkapan Negara disertai fungsi-fungsi dan hak-haknya, tetapi juga mengatur hak- hak yang diperintah dan hubungan antara hak-hak lembaga-lembaga Negara dengan hak-hak yang diperintah atau warga Negara.

Dalam kaitannya dengan definisi konstitusi, Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan “suatu konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai soko-soko guru atau sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “negara”. Sendi-sendi itu tentunya harus kuat dan tidak akan mudah runtuh, agar bangunan “Negara” tetap berdiri, betapapun ada angin taufan. Maka peraturan yang termuat dalam konstitusi harus tahan uji, kalau ada serangan dari tangan- tangan jahil yang akan menggantikan sendi-sendi itu dengan tiang-tiang yang lain coraknya dan yang akan merubah wajah Negara sehingga bangunan yang asli dan molek menjadi jelek.

Senada dengan pendapat Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. di atas, Sajoedin Ali mengatakan “undang-undang dasar menjadi hukum dasar Negara yang bagian terbesar daripadanya memuat peraturan-peraturan tentang susunan Negara dan pemerintahannya, menentukan dan membatasi usaha-usaha pemerintah, memberi jaminan bagi hak-hak utama rakyat, serta menetapkan pokok-pokok dasar tiga kekuasaan Negara, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang masing-masing mempunyai tugas yang berlainan. Ketiganya dibentuk untuk mewakili rakyat”.

Menurut Prof. K.C. Wheare, dalam bukunya Modern Constitutions, pembahasan mengenai urusan-urusan ketatanegaraan, istilah konstitusi lazim dipergunakan sekurang-kurangnya dalam 2 pengertian, yaitu pertama dalam arti luas, dan kedua dalam arti sempit.

  1. Konstitusi dalam arti luas, yaitu dipergunakan untuk menggambarkan seluruh sistem   pemerintahan suatu Negara yaitu sekumpulan peraturan yang menetapkan dan mengatur pemerintahan atau sistem ketatanegaraan. Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat hukum dan sebagian lagi bersifat non hukum atau ekstra-hukum. Peraturan bersifat hukum, dalam pengertian pengadilan mengakuinya sebagai hukum dan menerapkannya dalam menyelesaikan suatu kasus konkret. Peraturan bersifat non hukum atau ekstra- hukum,dalam pengertian pengadilan tidak akan menerapkan peraturan tersebut bila terjadi penlanggaran terhadapnya. Peraturan-peraturan non hukum dapat berbentuk kebiasaan-kebiasaan, kesepakatan-kesepakatan,adat istiadat, atau konvensi-konvensi (usages, understanding, customs, or conventions).meskipun pengadilan tidak mengakuinya sebagai hukum tetapi tidak berate peraturan-peraturan tersebut kurang efektif dalam pengaturan pemerintahan Negara.
  2. Konstitusi dalam arti sempit, kata ini digunakan bukan untuk mendiskripsikan aturan hukum (tertulis) dan non hukum tetapi bukan untuk yaitu menunjukan kepada suatu dokumen atau beberapa dokumen yang berkaitan erat serta memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tertentu yang bersifat pokok/dasar dari ketatanegaraan suatu Negara.

Selanjutnya, Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H.10 membagi konstitusi dalam dua pengertian yaitu:

  1. Dalam arti luas, menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu Negara, yaitu berupa kumpulan-kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah Negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan ada yang tidak tertulis yang berupa usages, understanding. Customs, or conventions.
  2. Dalam arti sempit, dituangkan dalam suatu dokumen, seperti undang-undang dasar.

G.S. Diponolo dalam bukunya Ilmu Negara, membagi pengertian konstitusi dalam dua pengertian pula, yaitu :

  1. Dalam arti luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constituonnelle).
  2. Dalam arti terbatas, konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar (loi Constitutionnelle)

Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara dibedakan antara pengertian konstitusi dengan pengertian undang-undang dasar, karena yang dimaksuddengan konstitusi ialah memuat baik peraturan yang tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis. Sedangkan undang-undang dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi.

Beberapa sarjana berpendapat bahwa karena adanya suatu kekhilafan dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada Negara-negara modern, maka kemudian perkembangannya, konstitusi diatikan sama dengan Undang-Undang Dasar. Kekhilafan ini menurut para sarjana tersebut, disebabkan oleh pengaruh paham kodifikasi yang menghendaki seluruh peraturan hukum tertulis disederhanakan, demi tercapainya kesatuan hukum dan kepastian hukum. Sedemikian besarnya pengaruh dari faham kodofikasi ini sehingga setiap peraturan hukum yang dipandang sedemikian penting haruslah tertulis. Dan dengan demikian konstitusi tertulis tersebut disebut dengan Undang-Undang Dasar.

Berkenaan dengan “Constitution” atau “Undang-Undang Dasar”, Prof. Miriam Budiardjo menerangkan “Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa untuk menterjemahkan kata Inggris “constitution” dengan kata Indonesia “Undang-Undang Dasar”. Kesukaran dengan pemakaian istilah undang-undang-dasar adalah bahwa kita langsung membayangkan suatu naskah tertulis, karena semua undang-undang merupakan hal yang tertulis. Pada istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan peraturan dari peraturan-peraturan_baik yang tertulis maupun tidak tertulis – yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat”.

Baca Juga : Pengertian dan Konsep Dasar Hak Asasi Manusia (HAM)

Dari apa yang diuraikan oleh Prof. Miriam Budiardjo di atas, maka yang dimaksud dengan istilah constitution, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan-baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis – yang mengatur secara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Dalam kaitannya dengan pengertian konstitusi ini, Prof. Usep Ranawidjaya, S.H. menyatakan ada dua arti konstitusi, yaitu Konstitusi dalam arti luas dan konstitusi dalam arti sempit.

  • Konstitusi dalam arti luas mencakup segala ketentuan yang berhubungan dengan keorganisasian Negara, baik yang terdapat di dalam undang-undang dasar, undang-undang organic, dan poeraturan perundangan lainnya, maupun kebiasaan atau konvensi.
  • Sebaliknya konstitusi dalam arti sempit, menurut sejarahnya dimaksudkan untuk memberi nama kepada dokumen pokok yang berisi aturan mengenai susunan organisasi Negara berserta cara kerjanya organisasi itu. Pengertian ini yang dimaksud konstitusi sama dengan undang-undang.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar, maka seorang sarjana yang ahli dalam bidang ketatanegaraan, yaitu Prof. Herman Heller dalam bukunya Staatslehre dengan metodenya “cara perolehan pengetahuan (methode van kennis verkrijiging), mengemukakan bahwa pengertian konstitusi itu lebih luas dari pengertian undang- undang dasar, dimana sarjana tersebut membagi konstitusi itu dalam tiga pengertian yaitu : Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschafassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologi atau politis. Setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari Konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka Konstitusi itu disebut Rechtvarssung). Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan istilah absrtraksi. Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang- undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara. (M. Koesnardi, SH. & Harmaily Ibrahim, SH.)

Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita menghubungkan pengertian Konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar konstitusi itu (die geschriebene verfassung), menurut beberapa sarjana, merupakan sebagian dari Konstitusi dalam pengertian umum. Hal yang menjadi catatan bagi sarjana adalah bahwa dalam paham modern, disatukannya arti/pengertian antara Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan sesungguhnya, Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis saja, tetapi juga bersifat sosiologis dan filosofis politis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Adminitrasi Negara dengan Administrasi Niaga

Pilkada Serentak ?

Pilkada di Indonesia Dilihat Dari Sudut Pandang Positif

Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia

Landasan Filosofis Penegakan Hukum Pemilu