New

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Gambar
  Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Wacana HAM di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia a. Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920) Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dile

Pilkada di Indonesia Dilihat Dari Sudut Pandang Positif

 

Pilkada di Indonesia Dilihat Daris Sudut Pandang Positif

Sesudah jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto, format dan pola pemerintahan daerah termasuk pemilihan kepala daerah direvisi mengikuti jiwa zaman yang tengah bertransformasi. Hasilnya terbit dua undang-undang pemerintahan daerah diwaktu yang relatif berdekatan yaitu UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004. Dari banyak butir yang dituangkan dalam pasal dan ayat pada undang-undang yang disebutkan diatas, salah satunya membahas mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah secara demokratis, dan prosedur itu dinamakan pemilihan kepala daerah langsung (Plkada) atau pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).

Pilkada atau pemilukada merupakan sebagian kecil dari pelaksanaan sekaligus proses demokrasi di aras lokal. Ini karena mekanisme hanya memberi ruang partisipasi yang amat terbatas dalam proses demokrasi pada aspek pemberian suara semata. Sementara aspek demokrasi yang lebih luas terdapat pada skop politikkeseharian (days to days politics) justru yang berlangsung setelah pemilukada itu berlangsung sehingga datang pemilihan selanjutnya. Namun demikian, kita tidak dapat meremahkan peran pemilukada dalam proses pendalaman demokrasi. Sebab, melaluinyalah masyarakat menentukan pemimpin daerah yang kemudian akan mewarnai kehidupan sosio politik, sosio kultur dan sosioekonomi daerah.

Berangkat dari pernyataan diatas, setidaknya ada beberapa argumen dimana pemilukada bermanfaat bagi pembangunan dan pendalaman demokrasi politik melalui logika dan caranya sendiri. Pertama, Pemilukada memantapkan legitimasi politik pemerintahan daerah. Oleh karena pemerintah daerah berangkat dari ketulusan warga memilih pemimpinnya melalui pemilihan mekanisme langsung, maka otomatis kondisi ini akan melembagakan legitimasi kepala daerah. Dengan legitimasi ini pulalah kepala daerah nerkesempatan untuk berinovasi, berkarya dan mencipta secara maksimal suatau pendekatan baru tanpa harus didikte oleh pemerintah pusat guna meningkatkan pembangunan daerah yang berprioritas. Terkait dengan ini, partisipasi rakyat dan geliat politik diperingkat lokal dapat dijustifikasi memantapkan demokrasi karena memberi legitimasi politik yang kukuh kepada kepala daerah, sebab mereka dipilih langsung oleh rakyat sang pemilik kedaulatan. Argumen ini setarikan nafas dengan tulisan Priyambudi Sulistianto & Erb (2009:9) menyatakan bahwa pilkada sebagai: “...an essential institution at the heart of a democratic system; they legitimize the leadership as the chois of the people...” sebab, calon yang terpilih dipilih secara demokratis dan mendapat dukungan dari sebagian besar pemilih paling tidak mayoritas sederhana yang merepleksikan konfigurasi dan lanskap politik didaerah.

Kedua, terkait dengan hal pertama, pemilukada juga mendorong terwujudnya akuntabilitas dan revonsivitas pemimpin daerah. Pemilihan kepala daerah langsung yang dikombinasikan dengan kebijakan otonomi mencetuskan pemerintahan yang lebih bertanggung jawab dan responsif atas pelbagai keperluan rakyat. Dalam konteks demokrasi lokal, akuntabilitas harus diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam memnuhi sebagian besar tuntutan warganya yang muaranya adalah pemerataan sosioekonomi dan politik. Sedangkan responsivitas bukan hanya dimaknai sebagai kemampuan pemerintah untuk menanggapi keperluan warga setempat, tetapi lebih jauh dari itu adanya kemampuan pihak otoritatif untuk mendistribusikan pelayanan publik secara optimal. Beberapa kasus kepala daerah yang tidak mampu merealisasikan hal ini pada akhirnya menyulut resistensi rakyat dan yang lebih radikal dari perlawanan tersebut adalah munculnya tuntutan redistricting.

Ketiga, pemilukada mewujudkan pengembangan dan pemberdayaan kewargaan (citizenship). Pemilihan kepala daerah dilevel lokal sedikit banyaknya mendorong kadar partisipasi masyarakat dalam hal kepolitikan, sekaligus juga menumbuh kembangkan modal sosial kewarganegaraan sesama mereka. Kondisi ini sangat dimungkinkan oleh satu keyakinan bahwa masyarakat setempat lebih mengetahui masalah yang mereka rasakan dibanding pemerintah ditingkat pusat. Untuk menyelesaikan masalah, masyarakat akan saling berinteraksi satu sama lain mengembangkan komitmen bersama yang pada akhirnya menyuburkan sifat saling percaya, toleransi, kerjasama dan solidaritas. Dari sifat inilah, keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik ditingkat lokal mencetuskan sikap kewargaan sehingga menjadikannya menjadi modal sosial yang bermanfaat bagi pelembagaan pendalaman demokrasi ditingkat lokal. Ujung dari itu semua adalah tumbuh dan matangnya organisasi dan jaringan masyarakat sipil di daerah. Ini semua pada gilirannya melindungi sistem demokrasi dari akienasi masyarakatnya terhadap kehidupan politik.

Disamping itu, partisipasi rakyat yang semakin nyata tanpa unsur mobilitas dari pihak berkuasa berhasil memunculkan keberagaman dan keterlibatan NGO yang lebih aktif sebagai counterpart bagi pemerintah, baik dalam konteks pormulasi ataupun implementasi Peraturan Daerah (Perda). Munculnya aktivis NGO lokal dapat dikategorikan sebagai bentuk kebangkitan masyarakat sipil di daerah. Masyarakat sipil, menyitir Varshney (2002:46) ditakpirkan sebagai “..a host of informal group activities and meeting places thet connect individualis, build trust, encourage reciprocity, and meeting places that connect individuals, build trast, encourage reciprocity, and facilitate exchange of views on matters of public concern..”oleh karena itu, masyarakat sipil hari ini dianggap sebagai syarat bagi kehidupan politik modern yang mencerminkan berfungsinya sebuah sistempolitik demokratis. Aktivitas mereka bisa dilihat umpanya dari geliat mereka untuk menghadirkan pemerinyahan daerah yang melakukan perusakan lingkungan, menegur kepala daerah yang memberi konsensi bahan galian secara serampangan, mengingatkan aparat birokrasi yang tidak memberikan pelayanan kesehatan yang prima kepada masyarakat, melarang para PNS untuk tidak melakukan korupsi dana-dana daerah, dan juga membantu pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah-masalah publik.

Keempat, Pemilukada terus melembagakan mekanisme check and balances (pengawasan dan perimbangan) antar lembaga di daerah terutama lembaga eksekutif dan legislatif sehingga menutup kemungkinan terjadinya kekuatan di hanya satu lembaga. Pada era orde baru, rezim berkuasa mengontruksi kekuatan pada lembaga eksekutif. Lembaga ini memiliki kuasa yang dominan mulai dari merancang, menetapkan hingga melaksanakan berbagai peraturan. Pada masa itu, parlemen daerah hanya dijadikan rubber stamp bagi kepentingan penguasa pusat melalui kaki-kaki tangannya di daerah. Akibatnya, tuntutan dan kebutuhan rakyat yang nyata sukar terealisasi melalui kepentingan-kepentingan pusat yang disetujui oleh DPRD. Tapi kondisi ini berbalik ketika reformasi berlangsung. Eksekutif heavy yang mewarnai politik lokal dibatalkan dengan munculnya kekuatan legislatif (legislatif heavy). Bagaikan ingin membalas dendam pada masa itu kepala daerah dibuat tak berkutik dengan kuasa besar parlemen. Ini karena zeitgeistnya menghendaki mereka untuk tunduk kepada rakyat yang direpresentasikan oleh anggota-anggota parlemen. Tidak seimbangnya kekuatan pada era ini mengakibatkan semua usaha parlemen selalu disetujui oleh eksekutif, termasuk lembaga pembiayaan yang bernuansa korupsi (Rohdewold 2003). Untungnya melalui berbagai langkah perbaikan yang diambil dan dijalankan oleh pemerintah pusat, termasuk strategi Pemilukada, keadaan ini dapat diurai dan ditempatkan pada posisi yang wajar di mana eksekutif dan legislatif berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah bukan berada dalam kondisi zero-sum. Penempatan kembali lembaga eksekutif dan legislatif kepada posisi yang seharusnya mencerminkan upaya perbaikan sistem politik demokrasi di Indonesia dengan tujuan kedua lembaga ini saling bekerjasama guna membangun daerah melalui mekanisme check and balances. Ini karena, kedua lembaga dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga memberikan legitimasi yang sama besar bagi keduanya bukan untuk saling menjatuhkan tetapi untuk saling bahu-membahu bergandengan tangan membangun daerah.

Kelima, terkait dengan perkara keempat, Pemilukada menciptakan kesempatan bagi partai politik untuk turut ambil bagian dalam pembangunan daerah. Selama rezim orde baru Soeharto, partai politik dianggap sebagai ornamen demokrasi Pancasila yang tidak demokratis. Karenanya tidak heran apabila selama zaman itu tidak pernah ada kepala daerah dari unsur partai politik. Kebanyakan kepala daerah berasal dari unsur militer atau dari golongan karya (Golkar). Merujuk pada kajian yang dibuat oleh Emmerson (1978), Jenskin (1984) dan Sukardi Rinangkit (2005) bahwa keterlibatan kedua unsur ini di daerah khususnya militer amatlah dominan. Pada tahun 1968 saja, kelompok militer yang menjadi gubernur mencapai 68%, dan jumlah ini semakin meningkat pada tahun 1972 hingga mencapai 92%. demikian pula halnya dengan kepala daerah di bawah gubernur, persentase Bupati pada tahun 1968 berjumlah 59% dan meningkat menjadi 84% pada tahun 1970-an (emmerson 1978). Sementara itu, Jenskin (1984:198) menyatakan bahwa pada tahun 1980 jumlah anggota militer yang menjabat gubernur mencapai 70,3%, dan menduduki jabatan Bupati sebesar 56,6%. Bahkan data tahun 2001 pasca jatuhnya Soeharto dominasi kelompok ini masih terus berlanjut. Lebih dari 30 provinsi dan 330 kabupaten kota di Indonesia, 54,803% gubernurnya berlatar belakang militer, demikian pula walikota dari unsur militer berjumlah 36,49% (Sukardi Rinangkit 2005:79). Data ini menunjukkan bagaimana partai politik dibiarkan menjadi objek penderitaan selama orde baru berkuasa dan juga pada awal reformasi. Oleh karena itu, tidak heran apabila banyak keputusan Pemilukada sepanjang 2005-2008 memperlihatkan variasi partai yang kemudiannya memimpin di daerah sekedar menyebutkan beberapa partai dan daerah seperti : partai amanat nasional (PAN) di kabupaten Gunungkidul dan kabupaten pesisir Selatan, partai Demokrat (PD) di kabupaten Kotawaringin barat dan kabupaten Pacitan, partai kebangkitan bangsa (PKB) kabupaten Ponorogo dan kabupaten Sidoarjo, partai keadilan sejahtera (PKS) di provinsi Jawa barat kabupaten Bangka dan Kota Depok, partai keadilan dan persatuan Indonesia (PKPI) di kabupaten Selema dan kota Belitung, partai demokrasi sejahtera (PDS) di kabupaten Poso dan kabupaten raja Ampat (Leo Agustino 2010:288-289).

Keenam, Pemilukada juga berdampak pada munculnya calon-calon perempuan yang bertanding menjadi kepala daearah. Tidak seperti kepala daerah zaman orde baru yang keseluruhannya adalah laki-laki, melalui Pemilukada beberapa perempuan terpilih menjadi Bupati, walikota dan bahkan gubernur. Antaranya ialah Atut Chosiyah (gubernur provinsi Banten), Marlina M.S. (bupati kabupaten bolaang Mongondow), Ratna Ani lestari (bupati kabupaten Banyuwangi), ratnaningsih (bupati kabupaten Karanganyar), Siti Komariah (bupati kabupaten Pekalongan), Vonny panambunan (bupati kabupaten Minahasa Utara), Sylviana murni (walikota Jakarta pusat), dan lainnya. Selain memegang jabatan kepala daerah, tidak sedikit perempuan yang menjadi wakil kepala daerah. Mereka antaranya ialah Rustriningsih (wakil gubernur provinsi Jawa tengah), Ambar Fatonah (wakil bupati kabupaten Semarang), badingah (wakil bupati kabupaten Gunungkidul), Amalia Priatna (wakil bupati kabupaten Karawang), Julianti Suhardi (wakil bupati kabupaten Sambas), nursyamsi aroepala (wakil bupati kabupaten Selayar), Hanum (wakil bupati kabupaten Pasaman), Siti Normakesi (wakil bupati kabupaten Kendal), Siti Taslim suruwaky (wakil bupati seram bagian timur), Wendy melfa (wakil bupati kabupaten Lampung Selatan) Lineke S, Watorlangkow (wakil walikota kota tomohon) Olivia Latuconsina (wakil walikota Kota Ambon) dan banyak lagi lainnya (Leo Agustino 2010 289-290). Keadaan ini menggambarkan bagaimana keterbukaan politik pada era reformasi semakin mengukuhkan toleransi politik yang juga menjadi tujuan bagi deepening democracy. Sebab, merujuk Sullivan, pearson dan Markmcus (1982:22), toleransi politik di indikasikan dengan mulai sadar dan bersedia nya setiap orang untuk saling menghormati, menghargai dan yang terpenting menerima perbedaan. Ketidak toleranan atau paling tidak sikap tidak percaya yang ditunjukkan oleh rezim orde baru terhadap kemampuan perempuan untuk memimpin daerah sekali sekali lagi mengindikasikan bagaimana praktik politik lokal pada zaman itu tidak demokratis karena menyekat kebebasan rakyat dalam hal ini perempuan yang memiliki keupayaan untuk menjadi kepala daerah.

uraian diatas menunjukkan bahwa Pemilukada yang bermula pada pertengahan tahun 2005 telah membawa dampak besar terhadap pendalaman demokrasi (deepening democracy) di Indonesia yang telah dimulai sejak jatuhnya rezim otokratik orde baru pada tahun 1998. Pendalaman demokrasi ini merupakan bukti keseriusan elit dan massa untuk bekerjasama menjawab kegelapan masa lalu bagi mencerahkan masa depan di daerah. Pengalaman pahit otoritarianisme telah memberikan pelajaran berarti akan terkuburnya hak politik dan kebebasan sipil. Oleh sebab itu, ketika pemilukada diperkenalkan dan diimplementasikan warga daerah tidak mau kehilangan momen untuk memperbaiki berbagai perkara dan masalah yang tidak demokratis.

Baca juga: Permasalahan Pilkada Langsung

 

Agustino,Leo . 2014. politik lokal dan otonomi daerah. Bandung : alfabeta.

Komentar

Sri mengatakan…
Menurut saya, Samapi saat ini pilkada langsung merupakan sistem yg paling baik karena rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpinnya.

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Adminitrasi Negara dengan Administrasi Niaga

Pilkada Serentak ?

Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia

Landasan Filosofis Penegakan Hukum Pemilu