New

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Gambar
  Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Wacana HAM di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia a. Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920) Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dile

Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia

Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia


Dalam bentangan sejarah ketatanegaraan negara kesatuan republik Indonesia secara khusus pengaturan setingkat Undang-Undang Dasar, pemilihan umum baru dinyatakan sah secara eksplisit dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS NKRI, UU no 7/1950) yang menyebutkan:

"Kemauan rakjat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dijatakan dalam pemilihan berkal jang djudjur dan jang dilakukan menurut hak-pilih jang bersipat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara jang rahasia ataupun menurut tjara jang djuga mendjamin kebebasan mengeluarkan suara."

undang-undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) tidak mengatur pengisian jabatan melalui prosedur pemilihan umum. Akan tetapi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/ Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dipilih dengan cara pemilihan umum dalam praktiknya. Sebelum diadakan pemilihan umum, sesuai pasal IV aturan peralihan UUD 1945, meluruskan kekuasaan DPR, MPR dan Dewan Pertimbangan agung (DPA) dijalankan oleh presiden yang dibantu oleh sebuah komite nasional. Oleh karenanya dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor x (eks) tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berperan sebagai lembaga legislatif yang terlibat menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). tidak genap 3 minggu, pemerintah melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945 merencanakan mengadakan pemilihan umum pada bulan Januari 1946.

namun pemilihan umum tidak terlaksana meski undang-undang dasar telah diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan UUD NKRI. Pemilihan umum yang dilakukan secara nasional baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955 dengan landasan hukum yang digunakan ialah Undang-Undang No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun salah satu yang menjadi latar belakang lahirnya undang-undang ini ialah peristiwa 17 Oktober 1952 pada era kabinet Wilopo.

Akan tetapi sebelum pemilihan umum nasional dilaksanakan, telah dilakukan beberapa pemilihan umum pada tingkat lokal. Pemilihan umum tingkat lokal telah berhasil dilaksanakan pada tahun 1946 di Resident Kediri dan Surakarta, begitu juga pada awal tahun 1952 dilangsungkan pemilihan anggota parlemen di Sulawesi (Minahasa, Sangirmhe Talaud dan Kota Makassar) dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Herbert Feith mencatat:

"Election history in Indonesia goes back to the early days of the national revolution. Plans for the building of nation-wide elections were announced as early as Oktober 5th, 1945, and in 1946 election were held in the Javanese residence of Kediri and Surakarta. ... Election were held in 1951 an early 1952 in Minahasa, Sangihe Talaud and the municipality of Makassar Sulawesi end in the special territory of Yogyakarta, in from these election, conducted on the basis of a variety of electoral system, government authorities authorities considerable experience in the problem of elektoral technique."

Kedua Pemilihan umum di tingkat daerah (Sulawesi dan Yogyakarta) pada awal tahun 1950an ini menjadi penting karena menurut Robert J. Bine Jr. kedua Pemilihan umum Daerah ini menjadi uji coba sistem pemilihan secara langsung dan sistem pemilihan tidak langsung:

"That same year, in the only to distrik election ever had under the present Indonesian republic, bout systems were tried out. In one area, with a high literasi red, a direct system was used. In the other, much closer to the Indonesian norm, with a very low literasi rate, an direct system was used. The result of this experience confirmed less impression that direct system was both more democratic and less expensive. As result, observers from the center election office were sent to study election method in several countries, including the united state, Australia, Iran, Caylon, and India. Particularly from the observation of the last rhree, it was concluded that a direct election was feasible even with largely iliterate electorate."

Selain mempelajari pemilihan umum tingkat lokal, kantor pemilihan Pusat diwakili oleh Mr Soebagio Reksodipoero dan Moenanjir menimba ilmu pelaksana pemilihan umum di Australia dengan biaya Colombo plan. Setelah itu pada tanggal 30 Desember 1951 dikirim pula tim untuk mempelajari sistem pemilihan umum di India.


berdasarkan mekanisme pemilihan anggota DPR sesuai pasal 56 dan pasal 57 UUDS 1950 yang berbunyi:

"Pasal 56
Dewan Perwakilan Rakjat mewakili seluruh rakjat Indonesia dan terdiri sedjumlah anggouta jang bersanja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 300.000 djiwa penduduk warga negara Indonesia mempunjai seorang wakil; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam ajat ke 2 pasal 58."
Pasal 57
Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakjat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia jang memenuhi sjarat-sjarat dan menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang."

dan aturan organik Undang-Undang No. 7 tahun 1953 Pemilihan umum pertama tahun 1955 dilaksanakan. Pada pemilihan umum ini tercatat jumlah pemilihan sebanyak 43.104.464 orang, 91,45% dari jumlah tersebut datang ke TPS yang berjumlah 95.532 buah. Diperkirakan hanya sekitar 6% pemilih yang tidak mempergunakan hak pilihnya. Sebanyak 257 buah kursi DPR diperebutkan dalam pemilihan umum ini. Sistem pemilihan yang digunakan adalah proporsional terbuka yang tidak murni dengan 16 daerah pemilihan. Biaya penyelenggaraan pemilihan umum sangat besar, tercatat sampai 29 Februari 1956 kementerian dalam negeri dan kementerian kehakiman sudah mengeluarkan Rp. 479.891.729 atau lebih dari Rp. 11 per pemilih terdaftar (equivalen dengan kurs/ nilai rupiah saat ini).

Pemilihan umum pertama ini dilaksanakan sebagai pemilihan umum yang terlaksana paling "luber" dan "jurdil" dan paling demokratis di Indonesia Negara-Negara asing pun memberikan pujian akan penyelenggaraan pemilihan umum ini. pada satu sisi hasil dari pemilihan umum ini tidak dengan serta merta membawa stabilitas politik namun dari sisi berbeda Pemilihan umum pertama ini membawa pendidikan politik yang sangat besar serta membuka senjumlah mitos politik dan sosiologis yang dari awalnya ditangkap oleh para perancang sosial dan para politisi di Jakarta.

Selain diselenggarakan pemilihan umum untuk anggota DPR, pemilihan umum 1955 juga diselenggarakan untuk pemilihan anggota Konstituante sebagaimana diamanatkan pasal 135 UUD 1945 yang berbunyi:
  1. konstituante terdiri dari sedjumlah anggauta jang besarnja ditetapkan berdasar atas perhitungan setiap 150.000 djiwa penduduk warga-negara Indonesia mempunyai seorang wakil.
  2. Anggauta-anggauta konstituante dipilih oleh warga-negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan tjara bebas dan rahasia menurut aturan aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
  3. ketentuan-ketentuan dalam pasal 58 berlaku buat konstituante dengan pengertian bahwa djumlah-djumlah wakil itu dua kali lipat."
Berbeda dengan penggunaan umum anggota DPR, pemilihan umum anggota konstituante tidak lah diikuti dengan semangat yang sama oleh para pemimpin partai politik karena bagi mereka badan Konstituante tidak memiliki kekuasaan yang sama dengan badan legislatif biasa. Selain itu, berdasarkan pasal 137 UUDS NKRIproses untuk menetapkan undang-undang dasar yang baru harus dihadiri oleh dua-pertiga dari seluruh anggota konstituante dan disetujui oleh dua-pertiga dari yang hadir. Namun dari segi penyelenggaraan, kelemahan pemilihan umum 15 Desember 1955 ini lebih sedikit dibandingkan dengan pemilihan umum 20 Desember 1955.

Setelah dikeluarkannya dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno maka UUD 1945 kembali diberlakukan.pada tanggal 22 Juli 1959 diterbitkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 tentang Dewan Perwakilan Rakyat yang pada intinya menyatakan anggota DPR hasil pemilu umum 1955 tetap menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang 1945 sampai DPR disusun sesuai dengan pasal 19 ayat (1) UUD 1945. Pada tanggal 5 Maret 1960 akibat ditolaknya RAPBN yang diajukan pemerintah, Presiden Soekarno membubarkan anggota DPR hasil pemilihan umum 1955 berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960 tentang pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat. selanjutnya pada tanggal 24 Juni 1960 berdasarkan Penetapan Presiden No 4 tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Hotong Royong (DPR-GR), Presiden Soekarno mengangkat sendiri 283 orang anggota DPR-GR yang terdiri dari wakil-wakil golongan politik dan golongan karya dan seorang wakil irian barat. Presiden Soekarno mengangkat ketua DPR-GR sebagai menteri koordinator dan wakil ketua DPR GR sebagai pejabat yang berkedudukan setingkat dengan menteri.

Setelah angin perubahan membawa konfigurasi politik yang baru di Indonesia maka konstelasi ketatanegaraan pun menyesuaikannya. Sidang keempat masa sidang 1965-1966 akhirnya mengembalikan kedudukan ketua dan wakil ketua DPR-GR yang tidak menjadi bagian dari kabinet dengan titel menteri. Selain itu, berdasarkan pasal 5 undang-undang No. 10 tahun 1966 tentang kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong menjelang pemilihan umum, MPRS dan DPR-GR berfungsi sebagai MPR dan DPR sebagaimana dimaksud UUD 1945.

Ketetapan MPRS XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno akhirnya membawa jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. pasal 4 TAP MPRS ini menyatakan jenderal Soeharto menjadi pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Sesuai dengan ketetapan MPRS XLII/MPRS/1968 tentang perubahan atas ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yang mengamanatkan pemilihan umum dilaksanakan selambat-lambatnya 5 Juli 1971. Empat tahun setelah Presiden Soeharto dinyatakan sebagai pejabat Presiden pemilihan umum kedua pun dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971 dengan dasar aturan organik Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan Undang-Undang No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam penyelenggaraan pemilihan umum pada era Orde Baru berbagai aturan setingkat undang-undang dipakai menjadi landasan hukum penyelenggaraan pemilihan umum. Perubahan demi perubahan dilakukan yang tidak jauh dari perubahan semantik atau redaksional belaka.dimulai dari diterbitkannya Undang-Undang No. 15 tahun 1969 dengan perubahan-perubahannya dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1975, Undang-Undang No .2 tahun 1980 dan Undang-Undang nomor 1 tahun 1985. Sejak pemilu ke-3 tahun 1977, pemilu di Indonesia diselenggarakan secara periodik lima tahun sekali.

Dalam pemilu 1977 diwarnai dengan fusi partai politik yang ada. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari empat partai islam (NU, PSII, Perti dan Parmusi). Selain itu ada juga Partai Demokrasi Indonesia (PDI) gabungan dari tiga partai nasionalis (PNI IPKI dan Murba) serta dua partai Kristen. Fusi tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Peserta pemilu sejak tahun 1977 hanya dua partai politik (PDI dan PPP) dan Golongan Karya.

Setelah pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dan dilangsungkannya sidang istimewa MPR yang menghasilkan ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, pemilihan umum dilaksanakan 7 Januari 1999. Aturan mengenai fusi partai politik diubah yang kemudian partai politik dapat kembali mengikuti pemilu sesuai dengan ketetapan MPR No. XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas ketetapan MPR RI No. III/MPR/1988 tentang pemilihan umum. Pengaturan mengenai pemilu lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik dari 141 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM.


pengaturan pemilihan umum kemudian selalu mengalami pergantian baik dari electoral laws maupun electronik prosesnya. Electoral laws diartikan oleh Douglas Rae sebagai: "those which govern the process by which electoral preference are articulated as votes are translated into the distributions of governmental authority (typically parlementary seats) among competing political parties." Mudahnya, Mahfud MD menyatakan electoral laws merupakan "mekanisme pemilu yang dijalankan dalam pemilu seperti pencalonan, kampanye, cara penghitungan, penentuan hasil dan sebagainya."

Election laws pada pemilu 1977-1997 pada masa Orde Baru menggunakan sistem pemilu proporsional dengan varian daftar calon mengikat serta memakai sistem kepartaian yang dwi partai. Pasca Orde Baru yaitu 1999 menggunakan sistem pemilu proporsional dengan varian daftar calon tertutup (closed list) serta sistem multipartai ekstrem. Pada pemilu 2004 sistem pemilu ialah sistem proporsional dengan daftar calon terbuka (open list) serta tetap dengan multipartai ekstreme. Pemilu pada tahun 2009 dan 2014 tidak mengalami banyak perubahan signifikan dalam electoral lawsnya.

Pada masa reformasi, Indonesia digolongkan oleh freedom house dalam kategori "electoral democracy" sejak 1999. Kategori tersebut menggambarkan bahwa Indonesia menyelenggarakan pemilu secara terbuka namun disisi lain memiliki permasalahan-permasalahan serius dalam implementasi hak-hak individual. Pengaruh Pemilu 2004 pasca reformasi konstitusi membongkar paradigma lama yang disusun berdasarkan pemerintah otoriter. Pemilu secara langsung diadakan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD dan DPRD. Porsi anggota DPR dan MPR yang diangkat oleh Presiden dihapuskan. Presiden pun tidak menjadi mandataris MPR lagi sehingga harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Konsekuensi hukumnya dibentuk dua undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dan undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilu 2004 merupakan momentum sejarah dalam ketatanegaraan Indonesia karena untuk pertama kalinya Pemilu dilangsungkan tiga kali. pertama untuk memilih anggota Parlemen. Kedua untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam putaran kedua jikalau tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Edwar Siregar, Fritz. Menuju Peradilan Pemilu. Jakarta: Themis Publishing. 2019

Komentar

citcat mengatakan…
kenapa ga ditulis sampai pemilu 2019 ?

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Adminitrasi Negara dengan Administrasi Niaga

Pilkada Serentak ?

Pilkada di Indonesia Dilihat Dari Sudut Pandang Positif

Landasan Filosofis Penegakan Hukum Pemilu