New

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Gambar
  Wacana Hak Asasi Manusia (HAM) di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Wacana HAM di indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu: sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia a. Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920) Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa dile

Apa Itu Demokrasi

apa itu demokrasi

Pengertian Demokrasi merupakan suatu konsep yang cair dan lentur khususnya setelah berakhirnya perang dingin pada akhir tahun 1980-an. hal ini disebabkan oleh kehendak setiap negara untuk diakui sebagai negara yang demokratis. Tidak seperti arti etimologinya yang menyatakan bahwa Demokrasi adalah pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat, Collier dan Levitsky (1997) menganalisis bahwa pengertian demokrasi telah meluas sehingga kini telah terdapat lebih dari 500 subjenis arti demokrasi. Namun demikian harus dipahami bahwa demokrasi yang dimaksud oleh mereka adalah sama dengan demokrasi yang dianalisis oleh Zakaria (1997), yang menyatakan bahwa demokrasi yang berkembang saat ini setidaknya terbagi kedalam dua kutub besar, yaitu: demokrasi liberal dan demokrasi iliberal (demokrasi terbatas). Tapi masalahnya, dari banyak pengertian dan definisi yang telah disajikan oleh banyak scholar, pertanyaannya apakah karakteristik utama dari demokrasi yang dapat menyatukan berbagai definisi yang cair tersebut? Pertanyaan ini penting, khususnya untuk menyederhanakan walaupun tidak dapat disederhanakan secara mudah agar dapat dioperasionalisasikan.

Secara sederhana dan bebas, demokrasi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan dan dimana formulasi kebijakan, secara langsung atau tidak, amat ditentukan oleh suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki hak suara melalui wadah pemilihan. Definisi ini setidaknya, selaras dengan apa yang di utarakan oleh Schumpeter dalam buku klasiknya capitalism, socialism and democracy (1947) yang menyatakan bahwa demokrasi adalah: "...institutional aragemen for arriving at political decision in which individual acaure the power to decide by mean of a competitive struggle for the people vote". atau dalam elaborasi yang lebih luas demokrasi berhubungan dengan "The Will of the people and the common good". Definisi ini lebih kurang sama dengan lipset (1959) yang menulis demokrasi sebagai "... As a political system which supplies regular konstitusional opportunities for changing the governing officials, and a sosial meccanism which permits The largest possible part of the population to influence major decisions by choosing among contenders for political office".

Persamaan argumen antara kedua sarjana diatas terletak pada adanya mekanisme pergantian kekuasaan secara rutin. Pergantian kekuasaan dalam sistem politik yang non demokratis seringkali dilakukan melalui cara tradisional atau paksaan. Pengertian kekuasaan dengan cara tradisional (keturunan darah) tentunya tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk menjadi dan menentukan pemimpin secara bebas. Sedangkan suksesi kekuasaan melalui cara paksaan (mobilisasi kudeta dan revolusi) juga menunjukkan kadar yang sama dengan an pemilihan model yang disebutkan pertama. 

Merujuk pada elaborasi Schumpeter dan Lipset di atas, paling tidak ada dua hal yang amat penting bagi demokrasi yakni Kehendak rakyat dan kebaikan bersama. Seperti diungkap schumpeter, demokrasi semestinya terwujud apabila kehendak rakyat yang mayoritas dapat dipenuhi oleh pemerintah berkuasa. Secara implisit pengertian ini hendak mengutarakan mengenai sumber demokrasi berasal, atau lebih konkretnya dari mana sumber kekuasaan itu berada yaitu dari rakyat (The Will of the people). Sedangkan pengertian kedua sebagai upaya menciptakan kebaikan bersama (common good). Merujuk pada ide awal pembentukan negara, dikatakan bahwa kebaikan bersama merupakan ujung dari kehendak bersama kolektif warga masyarakat. Karena itu, tujuan sistem pemerintahan demokratis ialah menciptakan kebaikan bersama yang cetakan melalui kehendak rakyat yang dijalankan melalui prosedur kontrak politik (pemilihan umum).

Dahl, seorang sarjana politik lain, menyumbang pemikirannya mengenai demokrasi dalam bukunya yang berjudul polyarchy (1971). Dalam buku tersebut Dahl berusaha menyempurnakan konsep demokrasi dengan cara membuat kriteria-kriteria ke atasnya. Kejadian tersebut adalah 1. persamaan hak dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, 2. Partisipasi efektif yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses formulasi keputusan secara kolektif, 3. Wujudnya tingkat kebebasan sipil dan politik (Dahl 1971). Tesis Dahl mengenai kebebasan sipil selaras dengan analisis Lipset (1994) yang menulis, "... The acceptance by the citizenry and political elites of principle underlying freedom of speech, asembly, religion and the like". Kebebasan ini akan berlaku jika masyarakat bersikap toleran terhadap berbagai macam perbedaan, termasuk paham dan ideologi politik yang berlainan. Karena menurut Sullivan, piereson dan marcus (1982), kebebasan dalam demokrasi mensyaratkan rakyat yang bersikap terbuka terhadap perbedaan dan setuju untuk tidak setuju.

Paradigma Dahl (1971) mengenai Demokrasi merupakan pijakan penting yang digunakan oleh para sarjana selanjutnya untuk menilai sejauh mana sebuah pemerintahan atau sistem politik dapat dikategorikan demokratis atau sebaliknya. Sebagai contoh, suatu pemerintahan atau sistem politik yang menolak keterlibatan masyarakat untuk memilih dalam pemilihan umum dapat dikategorikan sebagai pemerintahan yang nondemokratis. realitas ini pernah terjadi di Afrika Selatan ketika 70% penduduk kulit hitam dilarang memilih, di Swiss terdapat 50% penduduknya yang perempuan, atau seperti di Amerika Serikat terhadap 10% warga negaranya yang berkulit hitam di Selatan (Huntington 1991). Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pula pada masa orde baru apabila kontrol terhadap masyarakat menjadi imam para punggawa pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah mengejawantahkan peraturan menteri yang isinya melarang seluruh pegawai negeri sipil (PNS) menjadi anggota Partai politik. Bahkan untuk memperkuatkan permen tersebut, diformulasi pula peraturan Pemerintah No 6 tahun 1970 dimana isi PP tersebut mengarahkan seluruh PNS untuk taat dan setia kepada negara dengan cara memilih golongan Karya dalam setiap pemilihan umum (Leo Agustini 2002). Untuk memastikan peraturan ini ditaati, pemerintah membuat dan memberikan sanksi tegas kepada siapapun yang melanggarnya, mulai dari teguran hingga pemberhentian kerja. Akibatnya Pemilu Pemilu orde baru menjadi tidak bebas.

Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa dilihat dari satu aspek demokrasi sangat terkait erat dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas, adil dan transparan walaupun begitu, konsep ini merupakan konsep minimalis demokrasi. Sebab merujuk pada analisis Przeworski et al (1996), demokrasi elektoral seperti yang dibicarakan di atas hanya mengakui tingkat kebebasan dalam kadar tertentu (kebebasan berbicara, media, organisasi dan berkumpul) agar tercipta kompetisi dan partisipasi. Tetapi malangnya, demokrasi model ini tidak begitu menaruh perhatian pada kebebasan politik dalam ukuran-ukuran demokrasi liberal. Oleh karena itu, Przeworsky mengistilahkan demokrasi elektoral sebagai rezim yang hanya menyelenggarakan pemilihan pemilihan umum dengan maksud untuk mengisi jabatan-jabatan politik semata (1996). Namun demikian, uraian pada bagian ini bukan untuk menjelaskan minimalitas demokrasi elektoralisem, tetapi justru hendak menekankan bahwa demokrasi shecumpeterian Allah membuka sekaligus memberikan kesempatan bagi warga masyarakat untuk turut serta dalam persaingan politik (yang selama ini kedap dari partisipasi publik) guna menciptakan sirkulasi elit yang bebas adil dan berkala. Model schumpeterian ini sekaligus menghapus sirkulasi elit yang bersifat tradisional dan paksaan.

Uraian singkat diatas menunjukkan bahwa satu akar penting dalam sistem politik demokrasi adalah tersedianya mekanisme sirkulasi elit yang bebas, adil dan transparan. Perbedaan sistem politik Orde Baru yang juga menjalankan mekanisme demokrasi shecumpeterian adalah rezim otokratik Soeharto tidak menyajikan kebebasan bagi pemilih, keadilan bagi para pesaing, ketransparanan penyelenggaraan bagi masyarakat dunia, serta pemilihan langsung oleh rakyat sehingga menciptakan Pemilu sebagai instrumen pengekalan status quo rezim. 

Baca juga : Islam dan Demokrasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Adminitrasi Negara dengan Administrasi Niaga

Pilkada Serentak ?

Pilkada di Indonesia Dilihat Dari Sudut Pandang Positif

Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia

Landasan Filosofis Penegakan Hukum Pemilu